Waktu begitu cepat berlalu, bahkan terasa sangat cepat. Umat muslim akhirnya bertemu kembali dengan bulan Ramadan, bulan yang suci, tetapi sayangnya pandemi belum juga pergi. Bukannya mereda, tetapi justru sebaliknya. Virus kecil itu justru melahirkan Virus-virus baru.
Bulan Ramadan tahun ini tak jauh berbeda dengan bulan Ramadan tahun kemarin. Sama-sama memiliki banyak peraturan. Di beberapa daerah ada yang tetap menerapkan social distancing dalam melaksanakan shalat tarawih, itu artinya shaf-shaf yang biasanya rapat, kini terpaksa harus berjauhan karena menjaga jarak. Tak ada lagi perayaan hari besar Islam seperti Nuzulul Qur'an, atau perlombaan pada bulan suci Ramadan, malam-malam bulan suci Ramadan tahun ini masih sama, Sama-sama terasa sunyi, hanya lantunan suara ayat al-Qur'an yang terdengar dari seseorang yang sedang mikra di Masjid. Atau sesekali terdengar bunyi ledakan petasan ulah para anak kecil. Bunyi petasan itu cukup membuat mereka bahagia, walau pada akhirnya harus mendapat ocehan dari para tetangga, karena kadang bunyi petasan tak bersahabat dan membuat kaget orang dewasa.
Menu takjil pun masih sama, belum berubah, kolak masih tetap menjadi kerinduan setiap bulan suci Ramadan tiba, juga kurma yang mendadak ramai dibeli karena ingin mengikuti sunnah Nabi. Baju lebaran masih tetap menjadi dambaan, setiap hari berharap dapat segera membeli baju baru, karena katanya, jika beli nanti-nanti khawatir tak ada model yang bagus lagi. Yang paling membingungkan, Corona semakin merajalela, tapi ngabuburit tak menjadi alpa untuk tak melakukannya, buktinya jalanan tetap macet di mana-mana.
Corona juga menjadi penyebab pengangguran meningkat, di bulan Ramadan ini, tak sedikit kriminal terjadi, banyak pencurian motor milik warga yang jelas hanya seorang rakyat biasa. Katanya hal itu terpaksa dilakukan demi membahagiakan istri dan si buah hati. Padahal semua itu jelas tidak manusiawi.
Ada yang semangat menghatamkan al-Qur'an berkali-kali, ada yang santai sampai penghujung Ramadan dia tak hatam sama sekali. Ada yang suka lebih awal datang ke masjid/mushola, karena khawatir tertinggal satu dua rokaat shalat tarawih. Ada yang sengaja mengakhirkan datang, karena perut masih terasa kekenyangan.
Setiap ada yang sama pasti terdapat yang beda, ada yang membedakan dari bulan Ramadan tahun lalu, karena bulan Ramadan tahun ini sepertinya diriuhkan dengan larangan mudik. Entah kebijakan itu tepat atau tidak, menyelematkan atau justru nenyengsarakan. Dibalik kebijakan pemerintah itu ada seorang anak diperantauan yang susah payah mencari cuan demi untuk bisa memberi barang dan makanan yang diinginkan orang tua dan keluarga. Sementara jauh dari itu warga Asing dibiarkan masuk, entah faktor kesengajaan atau kecolongan.
Kebijakan pemerintah itu juga sekaligus menjadi pengingat bagi si pengangguran, walaupun tak bisa memberikan materi kepada orang tua dan keluarga, walaupun tak bisa menuruti apa yang mereka damba, tetapi dapat berkumpul bersama hingga penghujung Ramadan tiba adalah suatu kebahagiaan yang tak terhingga.
Ramadan di Tahun kedua Corona memang begitu banyak pelajaran yang berharga. Jangan pernah disesali dengan takdir yang telah terjadi, karena menyesal tak akan mengubah kehidupan menjadi lebih berarti. Semoga Corona segera lenyap di muka Bumi, agar Ramadan nanti kita lebih tenang, tak ada lagi larangan mudik yang menjadi perdebatan, karena mudik yang sebenarnya adalah mudik kembali kepada Tuhan-Nya.
Komentar
Posting Komentar